Selasa, 28 April 2015

SEJARAH TRADISI ISLAM DI NUSANTARA

SEJARAH TRADISI ISLAM DI NUSANTARA




SEJARAH TRADISI ISLAM DI NUSANTARA

 BAB 1
A. PENDAHULUAN & LATAR BELAKANG

  Masyarakat Indonesia sebelum kedatangan Islam ada yang sudah menganut agama Hindu Budha maupun menganut kepercayaan adat setempat, Islam harus menyesuaikan diri dengan budaya lokal maupun kepercayaan yang sudah dianut daerah tersebut.
   Selanjutnya terjadi proses akulturasi (pencampuran budaya). Prose ini menghasilkan budaya baru yaitu perpaduan antara budaya setempat dengan budaya Islam. Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tradisi yang berbeda, oleh karena itu proses akulturasi budaya Islam dengan budaya setempat di setiap daerah terdapat perbedaan.
   Sejarah perkembangan Islam di Indonesia yang diperkirakan telah berlangsung selama tiga belas abad, menunjukkan ragam perubahan pola, gerakan dan pemikiran keagamaan seiring dengan perubahan sejarah bangsa. Keragaman demikian juga dapat melahirkan berbagai bentuk studi mengenai Islam di negeri ini yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Islam dilihat dari perkembangan sosial umpamanya, hampir dalam setiap periode terdapat model-model gerakan umat Islam. Sebagaimana terjadi pada zaman atau periode modern dan kontemporer yang mengalami perkembangan yang cukup pesat.
  Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
   Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
    Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
      Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.


BAB II

B. PEMBAHASAN MASALAH



1. Pengertian Seni

      Seni adalah penggunaan imajinasi manusia secara kreatif untuk menikmati kehidupan. Oleh karena itu, bentuk kesenian dapat muncul melalui benda-benda yang digunakan sehari-hari, serta dapat pula melalui benda-benda khusus yang hanya digunakan untuk kepentingan tertentu seperti ritual atau upacara. Seni dalam segala perwujudannya merupakan (salah satu) ekspresi proses kebudayaan manusia, sekaligus pencerminan dari peradaban suatu masyarakat atau bangsa pada suatu kurun waktu tertentu.

 Allah SWT sangat menyukai seni, sebagaimana sabda Rasulullah :



Artinya :

Allah itu indah dan suka akan keindahan.” (H.R. Muslim)



2. Pengertian Budaya Lokal


     Budaya lokal adalah budaya asli suatu kelompok masyarakat tertentu menurut JW. Ajawalia, budaya loial adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal. Misalnya budaya masyarakat pedalaman Sunda (Baduy) Budaya Nyangku di Panjalu Ciamis, budaya Seren Taun di Cicadas dan lain-lain.

     Ciri khas budaya tersebut merupakan kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun, meskipun ditengah-tengah perkembangannya mengalami perubahan nilai, perubahan dimaksud diakibatkan beberapa hal, misalnya percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya lokal suatu kelompok masyarakat yang masih sedekimian asli atau karena masyarakat sudah tidak memperhatikan lagi pada budaya lokal tersebut.




3. Seni Budaya Pra Islam

     Produk seni budaya pra-Islam di Nusantara dapat dibedakan dalam kategori kurun waktu, yakni seni budaya yang berasal dari masa prasejarah, masa kontak dengan tradisi besar Hindu dan seni Budaya etnik lokal yang masih ada sampai sekarang, yang diasumsikan berakar jauh ke masa lampau.



     Dari kurun prasejarah, kehidupan seni budaya ditandai oleh pendirian monumen-monumen seremonial, baik berukuran kecil, sedang, maupun besar, yakni berupa peninggalan yang dibuat dari susunan batu. Salah satu rekayasa arsitektur yang dianggap berasal dari tradisi megalit atau prasejarah adalah pendirian bangunan yang umum disebut dengan teras berundak (teras piramida) seperti terdapat di Gunung Padang (Cianjur, Sukabumi), Cibalay dan Kramat Kasang (Ciampea, Bogor).

     Peninggalan sejenis ini ditemukan di berbagai pelosok Nusantara. Bangunan teras berundak berasosiasi dengan satu atau beberapa jenis unsur megalit lainnya, seperti menhir, arca batu, altar batu, batu lumpang, dakon batu, pelinggih batu, tembok batu, jalanan berbatu, dolmen dan lain-lain. Beberapa batu dari bangunan teras berundah itu diukur dipahat dengan unsur dekoratif tertentu, seperti pola-pola geometris, pola binatang dan lain-lain seperti yang terdapat Pugungraharjo (Lampung) dan Terjan (Rembang).



    Seni Utama dunia Islam, kaligrafi, mozaik, dan arabesk sampai di Nusantara sebagai unsur seni baru. Dengan kepiawaian para seniman Nusantara. Pada seni pahat juga tampak variasi dan pembauran antara anasir-anasir asing dan lokal, termasuk pra Islam. Ini tampak pada hasil seni pahat makam dengan kandungan kreativitas lokal (Barus, Limapuluh Kota, Binamu), Hindu (Troloyo, Gresik, Airmata dan Astatinggi) dan asing (Pasai, Aceh, Ternate Tidore) secara tipologis, nisan-nisan makam muslim Nusantara memperlihatkan tipe-tipe Aceh, Demak Troloyo, Bugis Makassar, dan tipe-tipe lokal.



4. Islam dan Seni Budaya Lokal

     Dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, kedudukan seni dan budaya mempunyai peran yang cukup penting di dalamnya. Berkaitan dengan itu, maka tidak anek para ulama zaman dulu begitu luas pengetahuannya. Ia tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga menguasai ilmu seni dan budaya. Dalam hal ini, kehidupan sastra di dunia pesantren bukan merupakan barang baru. Dibacakannya Kasidah Barzanji yang berkisah tentang keagungan Nabi Muhammad Saw merupakan salah satu dari sekian karya sastra yang ditulis kalangan ulama pada zamannya.

     Hubungan Islam dengan seni dapat pula dilihat dari teks-teks klasik yang dikaji secara mendalam. Misalnya di dunia pesantren tradisional, kisah-kisah tentang para nabi dan para sahabatnya, pelajaran tentang haram, halal dan keimanan, dilantunkan dalam nadoman. Lirik-lirik nadoman itu sendiri ditulis dalam bentuk puisi.

     Wali-wali seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Drajat, dan Sunan Kalijaga berperan besar dalam mengembangkan seni dan kebudayaan Jawa yang bernapaskan Islam. Mereka mampu mentransformasikan bentuk-bentuk seni warisan Hindu menjadi bentuk-bentuk seni baru bermuatan Islam. Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati sebagai contoh adalah perintis penulisan puisi suluk atau tasawuf, yang pengaruhnya besar bagi perkembangan sastra.

     Begitu pula sebenarnya cukup banyak karya seni yang dihasilkan para seniman muslim modern sejak zaman Hamka sampai kini, khususnya dalam sastra, seni rupa, musik, seni suara dan teater yang bernapaskan Islam.



      Perlu dikemukakan bahwa sebelum orang Islam datang ke Indonesia, mereka telah mengenal berbagai ragam hias Arabesk yang kaya melalui kain, perabot rumah tangga, bagian-bagian kapal yang dihiasi dan lain-lain. Pengkayaan motif yang bersifat lokal juga didorong oleh wawasan bahwa "ayat-ayat Tuhan terbentang dalam alam dan diri manusia" jadi tidak terbatas alam yang ada di negeri Arab atau Persia dan tak terbatas diri manusia orang Arab dan Persia. Ingatlah Hamzah Fansuri berkata, Hamzah Fansuri orang uryani seperti Ismail jadi qurbani bukannya Arabi lagi ajami sentiasa wasil dengan yang baqi.



5. Integrasi Islam dan Budaya Lokal



     Islam di kawasan Kepulauan Nusantara sesungguhnya telah berkembang dengan pesat karena melalui proses akulturasi budaya lokal. Integrasi pemikiran Islam selalu disesuaikan dengan kekhasan budaya lokal. Dalam konteks ini, dakwah Islamiyah selalu melihat lingkungan sosial budaya dengan kacamata kearifan, kemampuan adaptasi ini merupakan kecerdasan sosial, intelektual, dan spiritual yang dimiliki oleh para ulama dahulu yang bertugas menyebarkan agama Islam.


     Bukti-bukti seni budaya Islam Nusantara telah merefleksikan bagaimana Islam sebagai ajaran samawi dan pranata keagamaan, disebarkan dan disosialisasikan di Nusantara. Sosialisasi tersebut telah menggunakan cara-cara damai dan memanfaatkan sumber daya kultur lokal sebagai media komunikasi yang efektif.





BAB III
C. PENGERTIAN SENI BUDAYA LOKAL SEBAGAI TRADISI ISLAM

     Masyarakat Indonesia sebelum kedatangan Islam ada yang sudah menganut agama Hindu dan Budha maupun menganut kepercayaan adat setempat. Para muballigh berpendapat bahwa agar bisa diterima oleh masyarakat setempat, Islam harus menyesuaikan diri dengan budaya lokal  maupun kepercayaan yang sudah dianut dengan tidak menyimpang dari ajaran Islam.Selanjutnya terjadi proses akulturasi (percampuran budaya). Proses ini menghasilkan budaya baru yaitu perpaduan antara budaya setempat dengan budaya Islam.

   Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tradisi yang berbeda, oleh karena itu proses akulturasi budaya Islam dengan budaya setempat di setiap daerah terdapat  perbedaan.



1. Sumatera

     Budaya yang sudah mengakar di Sumatera adalah budaya Melayu berupa kesusasteraan. Akulturasi antara dua budaya tersebut menimbulkan kesusasteraan Islam. Sehingga para ulama disamping sebagai pendidik agama juga dikenal sebagai sastrawan, misalnya Hamzah Fansuri, Syamsudin (Pasai), Abdurrauf (Singkil), dan Nuruddin ar Raniri. Ketiga ulama tersebut banyak menulis sastra Melayu yang bercorak tasawwuf.

     Beberapa karya besar dari masa ini adalah Syarab al ‘Asyiqin dan Asrar al ‘Arifin (Hamzah Fansuri), Nur al Daqaiq (Syamsudin), Bustan al Salatin (Nuruddin al Raniri). Karya-karya lainnya adalah Taj al Salatin, Hikayat Iskandar Dzulqarnain, Hikayat Amir Hamzah, dan Hilayat Aceh. Karya-karya tersebut sebagian besar berbentuk prosa. Bentuk sastra Melayu lainnya adalah syair dan pantun.



2. Jawa

     Sebelum Islam datang, di Jawa terdapat budaya Jawa Kuno sebagai hasil akulturasi dengan budaya India yang masuk bersama agama Hindu dan Budha. Bila dibandingkan dengan budaya Melayu, pengaruh budaya Islam terhadap budaya Jawa lebih kecil.  Hal ini terlihat misalnya pada penggunaan huruf Arab lebih kecil dibanding huruf Jawa, kedua bentuk puisi lebih sering digunakan dibanding prosa. 
     Wayang adalah salah satu budaya Jawa hasil akulturasi dengan budaya India. Cerita-cerita pewayangan diambil dari kitab Ramayana dan Bharatayudha. Setelah terjadi akulturasi dengan Islam tokoh-tokoh dan cerita pewayangan diganti dengan cerita yang bernuansa Islam.
     Demikian juga dengan wayang golek di daerah Sunda, cerita-ceritanya merupakan gubahan dari cerita-cerita Islam seperti tentang Amir Hamzah (Hamzah adalah paman Rasulullah SAW). 


3. Sulawesi
     Meskipun masyarakat Sulawesi baru memeluk Islam pada abad ke-17, namun mereka mempunyai keteguhan terhadap ajaran Islam. Karya budaya mereka yang bersifat Islami banyak berupa karya sastra terjemahan dari karya berbahasa Arab dan Melayu, seperti karya Nuruddin al Raniri. Karya lain yang bersifat asli adalah La Galigo (syair kepahlawanan raja Makassar).

     Selain kesenian di atas terdapat pula bentuk kesenian visual (seni rupa) seperti seni kerajinan, seni murni, seni terapan dan ornament (hiasan). Ornament terdapat pada wadah, senjata, pakaian dan buku. Bentuk hiasan pada ornament diambil dari bentuk flora, fauna dan grafis meniru gaya hiasan Arab. Bentuk ornamen pada pakaian diwujudkan melalui teknik batik, sulam dan bordir.

Ø Jenis Seni Budaya dan Tradisi yang bernilai Islam

     Berbagai karya seni budaya tradisi Islam yang berkembang di Indonesia, yang menjadi kekuatan untuk menjaga kesatuan dan pergaulan, mengandung ajaran akhlaq mulia, yang digarap para da’i, mubaalik, para wali, dan juga dorongan para raja-raja di Nusantara, antara lain :
a)  Karya Seni Rupa lokal Tradisional
1. Seni Arsitektur Keraton dan Kasultanan
     Arsitektur keratin dan kasultanan di Nusantara, rata-rata bercorak tradisi religio-magis, yang terdiri dari: ruang pasebahan, sitihinggil, alun-alun, pasar, dan masjid. Contohnya seperti istana keratin Surakarta, Kasultanan Cirebon, Kasultanan Demak, dan sebagainya.
2. Makam atau Nisan
     Makam dalam tradisi Islam di Indonesia berbentuk mar,era tau batu dan bermahkota seperti kubah masjid (maesan), terkadang berhiaskan tulisan kaligrafi atau arabeska. Contohnya seperti Makam Sultan Malikus Shaleh di Samudra Pasai, makam para Wali di Jawa.
3. Bentuk Arsitek bangunan Masjid, Surau, Langgar khas Indonesia
     Masjid di Indonesia beratap tumpang mirip pura pada masa hindu, atap ini menjadi prototype sebagian besar masjid di Indonesia. Perbedaannya hanya pada jumlah atap tumpangnya, ada yang bertumpang 3, 5, dan 6. Bentuk bangunan Masjid di Indonesia merupakan gabungan antara konsep pura dan bangunan kelenteng.
4. Wayang
      salah satu budaya Jawa hasil akulturasi dengan budaya India. Cerita-cerita pewayangan diambil dari kitab Ramayana dan Bharatayudha. Setelah terjadi akulturasi dengan Islam tokoh-tokoh dan cerita pewayangan diganti dengan cerita yang bernuansa Islam. Bagi orang jawa, wayang bukan hanya sebagai tontonan, tetapi juga tuntunan karenasarat dengan pesan-pesan moral yang menjadi filsafat hidup orang Jawa.
b)  Karya Seni Musik lokal

1.  Shalawatan
      Music Shalawatan merupakan music perkusi terbang yang dipukil bergantian dengan sair dan puisi yang dilagukan dengan irama Arab atau Jawa.
2.  Macapat
      Macapatan, berupa jenis lagu Jawa yang sudah diatur komposisinya. Penampilan tanpa iringan music, tetapi hanya vocal saja.
3.  Orkes Gambus
      Musik gambus mirip dengan Shalawatan, tetapi alat-alat musiknya ditambah dengan viola accordion, mandolin, dan bahkan beberapa alat music elektrik.
4.  Gamelan Sekaten
      Gamelan jawa yang ditabuh saat upacara sekaten peng-islaman bagi yang akan masuk agama islam dengan pembacaan syahadat. Sekaten ini dilaksanakan pada bulan maulud.

    
BAB IV
D.  APRESIASI BUDAYA LOKAL SEBAGAI TRADISI ISLAM

    Setiap daerah dimana Islam masuk sudah terdapat tradisi masing-masing. Ada yang merupakan pengaruh Hindu dan Budha adapula tradisi asli yang sudah turun menurun. Seperti halnya di Sumatera, di daerah lainpun para mubaligh memilih mempertahankannya namun memberikan warna Islam.
Berikut ini beberapa contoh tradisi kesekuan di Indonesia yang bernuansa Islam :

1. Tahlilan
      Tahlilan adalah upacara kenduri atau selamatan untuk berdo’a kepada Alloh dengan membaca surat Yasin dan beberapa surat dan ayat pilihan lainnya, diikuti kalimat-kalimat tahlil (laailaaha illallah), tahmid (Alhamdulillah) dan tasbih (subhanallah).
     Biasanya diselenggarakan sebagai ucapan syukur kepada Alloh SWT (tasyakuran) dan mendo’akan seseorang yang telah meninggal dunia pada hari ke 3, 7, 40, 100, 1.000 dan khaul (tahunan). Tradisi ini berasal dari kebiasaan orang-orang Hindu dan Budha yaitu Kenduri, selamatan dan sesaji. Dalam agam Islam tradisi ini tidak dapat dibenarkan karena mengandung unsure kemusyrikan. Dalam tahlilan sesaji digantikan dengan berkat atau lauk-pauk yang bisa dibawa pulang oleh peserta. Ulama yang mengubah tradisi ini adalah Sunan Kalijaga dengan maksud agar orang yang baru masuk Islam tidak terkejut karena harus meninggalkan tradisi mereka, sehingga mereka kembali ke agamanya.

2. Sekaten

      Sekaten adalah upacara untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di lingkungan Keraton Yogyakarta atau Maulud. Selain untuk Maulud, Sekaten diselenggarakan pada bulan Besar (Dzulhijjah). Pada perayaan ini gamelan Sekati diarak dari Keraton ke halaman mesjid Agung Yogya dan dibunyikan siang-malam sejak seminggu sebelum 12 Rabiul Awal. Tradisi ini dipelopori oleh Sunan Bonang. Syair lagu berisi pesan tauhid dan setiap bait lagu diselingi pengucapan dua kalimat syahadat atau syahadatain, kemudian menjadi Sekaten.

3. Gerebeg Maulud
      Acara ini merupakan puncak peringatan maulud. Pada malam tanggal 11 Rabiul Awal ini, dengan Sri Sultan beserta pembesar Keraton Yogya hadir di mesjid Agung. Dilanjutkandengan pembacaan-pembacaan riwayat Nabi dengan ceramah agama.

4. Takbiran
      Takbiran dilakukan dengan malam 1 Syawal (Idul Fitri) dengan mengucapkan takbir bersama-sama di masjid/mushalla ataupun berkeliling kampong (takbir keliling).
5. Muludan
     Peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dilakukan dengan mengadakan Muludan. Peringatan ini dipelopori oleh Sultan Muhammad Al Fatihuntuk membangkitkan semangat pasukan Muslim pada perang salib. Peringatan Maulid Nabi sebenarnya tidak diperintahkan oleh Nabi melainkan budaya agama semata. Di Indonesia peringatan ini dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dari Presiden sampai rakyat biasa. Kegiatan ini diisi dengan pembacaan riwayat nabi (Barzanji) maupun kegiatan lainnya seperti perlombaa-perlombaan yang bersifat Islami.

6. Tabut/Tabuit
     Dilaksanakan pada hari asyura (10 Muharram) untuk memperingati pembantaian Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib (cucu Rosulullah) oleh pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbela. Dilakukan dengan mengarak usungan berwarna-warni (tabut) di pinggir pantai kemudian dibuang ke laut lepas. Pengarakan biasanya dilaksanakan setelah terlaksananya acara lainnya dengan menghidangkan beraneka macam hidangan makanan. Upacara ini dilaksanakan secara turun temurun di daerah Pariaman (Sumatera Barat) dan Bengkulu.

7. Adat Basandi Syara’, Sara’ Basandi Kitabulloh
     Masyarakat Minangkabau dikenal kuat dalam menjalankan agama Islam, sehingga adat mereka dipautkan dengan sendi Islam yaitu Al-Qur’an (Kitabullah). Adat Minagkabau kental dengan nuansa Islam sehingga melahirkan semboyan adat basabdi syara, syara basandi kitabullah (Adat bersendikan syara dan syara bersendikan Kitab Alloh).

8. Seni Tradisi Genjring
     Seni tradisi ini banyak ditemukan di daerah Purwokerto, dan Banyumas pada umumnya. Di kalangan masyarakat Banyumas, kesenian tradisi ini lebih banyak yang berbasis di masjid. Pada masa lalu, kesenian ini cukup efektif untuk melakukan pembinaan generasi muda, karena hampir setiap malam anak-anak muda bertemu di masjid. Untuk mengisi waktu senggang, mereka memainkan genjring bersama-sama di masjid. Namun saat ini kesenian ini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan kaum muda, sehingga jumlahnya didominasi kaum tua (50 tahunan).
     Dalam seni tradisi islam ini, syiiran shalawat dilantunkan secara rampak dengan diiringi tabuhan rebana, tanpa tarian. Oleh masyarakat lokal, tabuhan rebana ini disebut genjring. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk mendekati bunyi rebana yang mirip bunyi “jring”, orang bilang “genringan”. Seperti halnya kesenian Islam lain, kesenian ini menggunakan dasar dari kitab Al-Berjanji. Dimana sebuah kitab yang berisi tentang puji-pujian kepada Nabi Muhammad.
     Kesenian ini di masyarakat Banyumas seringkali digunakan untuk mengarak sunatan. Dalam prosesi ini, gengring dilakukan sambil jalan beberapa ratus meter menyambut datangnya pengantin sunatan yang datang dari tempat disunat tersebut. Si anak dinaikkan becak yang telah dihias, yang kemudian dibelakangnya diikuti para pemain genjring. Menurut keterangan masyarakat Purwokerto dan Banyumas hal ini dimaksudkan selain untuk menambah kemeriahan pesta, mengurangi rasa sakit pada si anak (karena perhatian tertuju pada keramaian), juga dimaksudkan adanya hikmah dari pembacaan sholawat tersebut.
     Kesenian ini biasanya dimainkan oleh antara 12 sampai 30 orang. Penabuh terbang bisa bergantian dan nyanyian dilakukan secara serempak dengan menggunakan bahasa arab.

9. Kesenian Singkiran
     Kesenian ini sangat jarang ditemui karena semakin punah, seiring kemajuan jaman, meninggalnya para pelakunya, dan sengaja di counter kelompok tertentu (islam modern) karena dianggap ada penyimpangan dari Islam. Kesenian Singiran merupakan salah satu bagian integral dari ekspresi seni tradisi ummat Islam. Kesenian ini berkembang seiring dengan tradisi memperingati seribu hari kematian (3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari) salah satu warga.
     Jika dilihat dari isinya, seni tradisi ini berisikan nasehat-nasehat bagi si mayat dan nasehat kebajikan bagi anak cucu yang masih hidup untuk selalu mendoakan orang tua mereka.
     Kelompok kesenian ini salah satunya ditemukan di daerah Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY. Kelompok ini menamakan keseniannya sebagai “ Singir Ndjaratan” yang artinya “tembang kematian”. Selain menarasikan nasehat-nasehat kebajikan, kesenian ini juga dimaksudkan sebagai upaya untuk mendoakan para leluhur melalui pembacaan kalimat tahlil yang mengiringi pembacaan narasi syiiran. Kesenian ini semakin hari digerus oleh perspektif Islam modernis dan banyak tergantikan dengan tahlil dan yasinan. Kesenian ini tidak menggunakan alat musik, namun diiringi tahlil bersama sepanjang pembacaan singir-singirnya. Sedangkan irama atau langgam singir digunakan langgam-langgam macapat. Secara garis besar kesenian ini diawali dengan pembacaan tahlil, kemudian bacaan singir secara bergantian, dan kemudian pembacaan sholawat (srokal) serta diakhiri dengan doa.


10.    Kasidah
 

     Kasidah (qasidah, qasida; bahasa Arab: “قصيدة”, bahasa Persia: قصیده atau چكامه dibaca: chakameh) adalah bentuk syair epik kesusastraan Arab yang dinyanyikan. Penyanyi menyanyikan lirik berisi puji-pujian (dakwah keagamaan dan satire) untuk kaum muslim.
    Lagu kasidah modern liriknya juga dibuat dalam bahasa Indonesia selain Arab. Grup kasidah modern membawa seorang penyanyi bintang yang dibantu paduan suara wanita. Alat musik yang dimainkan adalah rebana dan mandolin, disertai alat-alat modern, misalnya: biolagitar listrik,keyboard flute. Perintis kasidah modern adalah grup Nasida Ria dari Semarang yang semuanya perempuan. Lagu yang top yakni Perdamaian dari Nasida Ria. Di tahun 1970-an, BimboKoes Plus dan AKA mengedarkan album kasidah modern dan lain-lain.

11.    Sholawat Jawi
     Kesenian Shalawat Jawi di temukan di daerah Pleret, Bantul, dan beberapa juga sudah menyebar di sekitar kecamatan Pleret, atau bahkan di sekitar Kabupaten Bantul. Kesenian ini merupakan salah satu bentuk penegasan jawanisasi kesenian Islam. Kesenian yang berkembang seiring dengan tradisi peringtaan Maulid Nabi ini mengartikulasikan syair atau syiiran shalawat kepada Nabi Muhammad dengan medium bahasa Jawa, bahkan juga dengan melodi-melodi Jawa (langgam sinom, dandang-gula, pangkur dan lain-lain).
     Adalah Kyai Soleh yang menciptakan tembang-tembang shalawat berbahasa Jawa yang sampai saat ini tulisannya menjadi pedoman para pelaku seni sholawat jawi, meskipun beliau sudah lama meninggal. Kyai Soleh merupakan seorang tokoh lokal Islam yang sekaligus seniman yang memegang teguh prinsip-prinsip ber-Islam. Kesenian ini merupakan ekspresi keberagamaan sekaligus ekspresi kesenian bagi pelakunya. Mereka mendapatkan manfaat keberagamaan yang mententramkan hati (sebagai kubutuhan spiritualitas) sekaligus kebutuhan akan keindahan (seni) juga terpenuhi. Kesenian tradisi islam ini di dominasi oleh para oang tua ( rata-rata di atas 50 tahun) dan regenerasi sepertinya tidak. Kalangan mudah lebih senang kesenian yang lebih modern (model dan alatnya). Jadi tidak heran kesenian ini mulai jarang ditemui, karena kelompok-kelompok kesenian ini semakin sedikit.
    Selain tradisi tersebut masih banyak tradisi lain yang berkembang di daerah atau suku-suku lainnya. Hal ini menunjukkan perbedaan sikap masing-masing daerah pada saat menerima Islam. Tradisi-tradisi tersebut menambah kekayaan tradisi Islam Indonesia.
12.    Tari Zapin

     Tari zapin bisa kita temukan di Riau. Tari ini diiringi irama gambus, yang diperagakan oleh laki-laki yang berpasangan dengan mengenakan sarung, kemeja, kopeah hitam dan songket dan ikat kepala lacak/destar. Tari ini dipentaskan pada saat acara upacara pernikahan, khitanan dan hari raya islam.



13. Tari seudati
     Berasal dari Aceh umumnya diperankan oleh laki-laki dengan menari dan membuat bunyi tabuhan dengan alat music tubuh mereka sendiri, sewaktu menepuk tangan, dada, sisi tubuh dan menggertakan jari-jarinya.



14. Santriswaran

     Santriswaran adalah grup music dengan alat terbang, kendang, dan kemanak. Nadanya mengiktui nada gamelan. Syair-syairnya memuat ajaran-ajaran islam dan budaya jawa yang disisipi dengan selawat nabi. Santriswaran dikembangkan oleh seniman keraton Surakarta.



15. Tari Menak

     Diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX raja jogyakarta, tari menak mirip wayang orang tetapi tari menak diambil dari serat menak. Cerita menak adalah berbahasa jawa / sunda yang disadur dari parsi.
16. Suluk
     Suluk adalah tulisan dalam bahasa jawa maupun arab yang berisi pandangan hidup orang jawa. Serat wirid adalah tulisan pujangga jawa yang berisi bacaan-bacaan baik jawa maupun arab yang dibaca berulang-ulang.
17. Megengan
     Adalah upacara menyambut datangnya bulan suci ramadhan, kegiatan utamanya yaitu dengan manabuh bedug sebagai tanda jatuhnya tanggal 1 ramadhan.



18. Selikuran

     Dilakukan dikeraton Surakarta dan Yogyakarta setiap tanggal 21 Ramadhan yang bertujuan untuk menyambut malam lailatul qodar



Ø Apresiasi Terhadap Seni Budaya

     Seni budaya local yang benapaskan islam tersebut adalah hasil para juru dakwah dimasa lalu yang kreatif, dimana para juru dakwah mencari akal bagaimana supaya masyarakat yang sebelumnya masih kuat memegang adat dan budaya sebelumnya beralih ke agama islam tanpa menyinggung perasaan adat budaya sebelumnya yaitu hindu budha.

     Kita perlu menghargai dan melestarikan seni budaya adat yang bernafaskan islam, sepanjang tidak membawa dampak negative bagi aqidah keislaman dan tidak mengakibatkan syirik dan penyimpangan ajaran.

Ø Seni Bangunan/Arsitektur
     Seni bangunan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Hindu dan Buddha. Hal ini disebabkan sebelum Islam masuk ke Indonesia banyak kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha. Sehingga bentuk bangunan pada waktu itu berupa candi-candi untuk pemujaaan dewa-dewa dan roh leluhur. Selain dipengaruhi oleh bentuk candi, juga dipengaruhi oleh bentuk bangunan dari bangsa Barat yang lama menjajah Indonesia.
     Setelah agama Islam datang ke Indonesia kemudian banyak bangunan yang bernuansa Islam terutama bangunan ibadah untuk orang Islam Indonesia. Mulai dari masjid kecil sampai masjid yang besar.
Berikut beberapa bangunan yang bernuansa Islam di Indonesia.
â Gapura Masjid Kudus yang seperti candi
â Masjid Raya Baiturrahman di Aceh
â Masjid Agung Banten di Banten
â Masjid Agung Demak di Demak

Ø Rumah Gadang
    Gaya seni bina, pembinaan, hiasan bahagian dalam dan luar, dan fungsi rumah mencerminkan kebudayaan dan nilai Minangkabau.
Ø Rumah Banjar
    Mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam.



BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN



1. KESIMPULAN 

     Seni adalah penggunaan imajinasi manusia secara kreatif untuk menikmati kehidupan. Budaya lokal adalah budaya asli suatu kelompok masyarakat tertentu menurut JW. Ajawalia, budaya loial adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal. Misalnya budaya masyarakat pedalaman Sunda (Baduy) Budaya Nyangku di Panjalu Ciamis, budaya Seren Taun di Cicadas dan lain-lain.

   

    Produk seni budaya pra-Islam di Nusantara dapat dibedakan dalam kategori kurun waktu, yakni seni budaya yang berasal dari masa prasejarah, masa kontak dengan tradisi besar Hindu dan seni Budaya etnik lokal yang masih ada sampai sekarang, yang diasumsikan berakar jauh ke masa lampau.



    beberapa contoh penyebaran Islam di Nusantara dalam kaitannya dengan budaya local yaitu, penyebaran budaya islam di maja pahit . Islam di Majapahir dapat dilacak dari adanya makam Islam di sejumlah tempat di Situs Trowulan. Diantaranya puluhan nisan batu kuno di pemakaman Tralaya (Troloyo). Tralaya terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonoreja, Trowulan, Mojokerto. Tralaya hanya 2 km arah selatan Desa Trowulan pusat petilasan Kotaraja (ibu kota) kerajaan Majapahit, atau sekitar 15 Km arah barat daya ibu kota Kabupaten Mojokerto.



    Penyebaran kebudayaan islam di  Banten bisa diidentifikasi degan menelusuri produk-produk kesusastraan seperti naskah-naskah, babad atau buku-buku keagamaan berbagai cerita rakyat yang masih hidup dalam ingatan masyarakat yang dituturkan oleh kelompok suku di Banten dan Warisan Budaya Material (cultural heritage) dalam pengertian yang luas. Yang termasuk dalam kategori terakhir ini adalah karya-karya arsitektur, teknologi, kesenian dan sebagainya.



2. SARAN

   

    Pembelajaran tentang seni budaya lokal sebagai bagian dari tradisi islam nusantara akan lebih memahami tentang bagaimana islam masuk ke Indonesia, bagaimana perjuangan para penyebar islam di nusantara sehingga dapat meneladani dan mengharagai jasa - jasa para pahlawan agama dan bangsa tersebut.

    Pendalaman terhadap sejarah membuat seseorang menjadi tahu dan mengerti serta bisa mengharagai pengorbanan para pendahulu mereka, dan dapat melestarikan kebudayaan - kebudayaan yang telah ada, yang tidak bertentangan dengan nilai - nilai moral dan agama.

A. MANUSIA ADALAH MAKHLUK BERBUDAYA

A.  MANUSIA  ADALAH MAKHLUK BERBUDAYA


Kelebihan manusia diatas makhluk lain terletak pada kemampuannya dalam menciptakan kebudayaan dan perada-bannya.
QS At-Tin ayat 4 dijelaskan, bahwa manusia adalah makhluk yang terbaik bentuk ciptaannya (Ahsanu Taqwim), baik dari segi fisik (raga) maupun psikhis (jiwa). Secara kejiwaan, Allah me-lengkapi manusia dengan akal dan nafsu secara seimbang, sehingga muncul dari diri manusia tiga daya atau potensi yang meliputi cipta, rasa dan karsa. Dengan ketiga potensi / daya tersebut, manusia mampu melahirkan kebudayaan dan peradabannya, sehingga mengantarkan-nya menjadi makhluk yang terunggul dan terhormat diatas makhluk Allah lainnya.
Jadi, kelebihan manusia atas makhluk lainnya terletak pada ke-mampuannya dalam menciptakan kebudayaannya sendiri, sehingga paslah jika manusia  disebut sebagai makhluk berbudaya.
Allah menyinggung kelebihan manusia atas makhluk lainnya dalam QS Al-Isro',[17] : 70
"Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan."
Oleh karena itu, kehidupan manusia  tidak  dapat  dilepaskan  dari kebudayaan dan peradabannya.
Kebudayaan dan peradaban manusia berbeda-beda. Perbedaan ini sangat dipengaruhi antara lain oleh faktor lingkungan hidup dan agama atau kepercayaan yang dianut. Diantara bentuk kreasi-karya manusia dalam bidang  ini  berupa tradisi-tradisi.
Terjadinya Akulturasi Budaya
Sejak dulu, bangsa Indonesia kaya dengan kreasi budaya (tradisi), baik yang berupa karya seni (seni budaya) maupun upacara adat. Agama Islam masuk ke Indonesaia pada akhir abad ke-7 dan pesat berkembang sejak abad ke-13, atas peran para pedagang muslim dan muballigh dari bangsa arab, gujarat dan persia. Sementara itu, budaya dan tradisi lokal bangsa kita tersebut tetap berjalan seiring dengan budaya dan tradisi Islam.  Setidaknya, budaya dan tradisi Islam yang dibawa oleh ketiga bangsa tersebut sedikit banyak turut mewarnai budaya dan tradisi lokal (Indonesia), sehingga terjadinya akulturasi  (pembauran) di bidang budaya dan tradisi ini tidak dapat dihindari. Tidak menutup kemungkinan bahwa budaya dan tradisi yang satu mendominasi (menguasai) yang lain, yang pada akhirnya lahirlah  budaya dan tradisi baru, yakni budaya dan tradisi Islam Indonesia, atau Budaya dan Tradisi Lokal yang Bernafaskan Islam.


B. SENI BUDAYA LOKAL BERNAFASKAN ISLAM

Yang dimaksud dengan Seni Budaya Lokal yang Bernafaskan Islam ialah  segala bentuk kesenian yang berasal dari dan berkembang di daerah-daerah di Indonesia yang dipengaruhi oleh Islam dan memiliki nilai-nilai keislaman. .

1.  Keterkaitan Seni Budaya dengan Islam.
Islam adalah agama yang paling sempurna. Selain mengatur hubungan manusia dengan Alloh swt (Ibadah), Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (Muamalat).
Di bidang mu'amalat, Islam mengatur tata kehidupan kaum muslimin dalam berbudaya, baik dalam aspek kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (sosial-politik), berekonomi, berkesenian, maupun dalam aspek kehidupan lainnya.
Kesenian identik dengan keindahan. Sebagai pendorong kaum muslimin dalam aspek kehidupan berkesenian adalah Hadis Nabi saw :
اِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
 "Alloh swt itu Maha Indah. Dia menyukai keindahan". (HR Muslim).
Dengan kata lain, orang yang menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya, maka segala aspek kehidupan berbudayanya, tentu akan diwarnai dan dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman yang diyakininya itu. Dengan begitu, seni budaya yang diciptakan kaum muslimin tersebut tentu terkandung nilai-nilai keislaman, di samping juga ada nilai-nilai lokal / kedaerahan, karena kehidupan manusia tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan dimana ia hidup.

2.  Berbagai Macam Seni Budaya Lokal yang Bernafaskan Islam
Seni budaya banyak cabang dan macamnya. Diantaranya adalah seni suara, seni musik, seni tari, seni sastra, pertunjukan, seni lukis, seni pahat dan ukir, seni pakaian,  seni kaligrafi, seni arsitektur-bangunan, dan lain-lain.

a. Wayang dan Tembang Mocopat
Asal usul Wayang berasal dari India yang digunakan untuk menceritakan ajaran Hindu yang diambilkan dari kitab Mahabarata. Pada abad -15, seni ini diperbaiki dan dikembangkan dalam bentuk baru oleh Walisongo, terutama Sunan Kalijaga, untuk dijadikan sebagai metode dakwah yang cukup efektif saat itu. Sumbangan Sunan Kalijaga antara lain menambah perangkat debog(batang pisang), keber, blencong atau dian, dan penyusunan cerita-cerita carangan, dan lain-lain.
Cerita-cerita (lakon) wayang  yang tadinya diambil dari kitab Mahabarata dan Ramayana, lalu diselipi nilai-nilai simbolik yang bernafaskan islam. Bahkan diganti dengan cerita atau lakon carangan buatan sendiri. Misalnya lakon Dewa Ruci, Jimat kalimosodo, Petruk dadi Ratu, Semar ambarang Jantur, Mustaka Weni, Pendowo Limo, dan lainnya.
5 orang tokoh dalam lakon Pandawa Lima  merupakan simbol dari Rukun Islam. TokohPuntadewa (simbol Syahadat)Wrekudara atau Bima (simbol Shalat), Arjuna (simbol zakat), dan tokoh kembar Nakula-Sadewa (simbol Puasa dan Haji).
Lakon wayang Jimat Kalimasada merupakan cerita yang dihubungkan dengan ketauhidan,Kalimat Syahadat.
Para “Dewa” dalam dunia wayang tidak dipandang sebagai Dewa setingkat Tuhan, akan tetapi sebagai “manusia istimewa” yang silsilahnya sampai kepada Nabi Adam.
Nama dan istilah dalam wayang dimasuki unsur-unsur keislaman. Misalnya istilah “Dalang”diambil dari bahasa arab “Dalla”, artinya yang menunjukkan. Demikian pula nama “Petruk”, berasal dari kata “Fatruk”, artinya  maka tinggalkan. “Bagong”, dari kata “Baghoo” artinya lacut, durhaka, zhalim“Semar” dari kata “Syimar”, artinya arif dan waspada.  (Ismunandar, K., 1988 ; 95-103).
 Dalam pementasan wayang, biasanya dselilingi dengan melagukan  Tembang Mocopat.  Seni suara  muncul di Jawa sekitar abad ke-15 dan 16 sebagai kreasi dari Walisongo. Syair yang dilagukan berisi ajaran Islam, terutama tauhid, akhlak dan tasawwuf. Diantaranya: tembang Dandanggula (karya S. Kalijaga), Asmaradana dan Pucung (S. Giri), Durma (S. Bonang), Maskumambang dan Mijil (S. Kudus), Sinom dan Kinanti (S. Muria), Pangkur (S. Drajat).
Selain itu, ada tembang dolanan bocah, yaitu nyanyian untuk anak-anak, diantaranya karya Sunan Giri, seperti tembang Lir-Ilir, Sluku-Sluku Bathok, Cublak-cublak Suweng, Gendi Gurit, Jamuran, Jitungan, dll,

b.  Gambus, Kasidah, Hadhrah, Al-banjari, dan Qiro’ah
 Musik gambus berasal dari arab. Lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair-syair arab, terkadang juga syair bahasa Indonesia. Alatnya meliputi : kecapi petik, gambus, rebana kecil, dan marawis.
Qosidah artinya puisi. Dalam hal ini dipahami sebagai seni suara yang bernafaskan Islam yang lagunya diambil dari syair-syair arab, dari kitab qasidah Barzanji, dan kitab qasidah lainnya, terutama yang berisi sholawat Nabi, dan diselipi ajaran moral. Alat musiknya seperti gambus.
Bahkan, group Qosidah Modern seperti  Group Nasida Ria dari Semarang, melengkapi dengan peralatan musik elektronik modern.  Syair lagunya pun bervariasi, selain sholawat Nabi  adalah syair-syair berbahasa Indonesia yang berisi ajaran keislaman, terutama akhlak.

Hadhroh dan Al-Banjari sebagian besar alatnya dari rebana. Syairnya diambil dari qasidah barzanji, diba;iy, dan sya'ir sholawat Nabi.
Hadhroh, gambus, qosidah dan Al-Banjari biasa dimainkan dalam acara semecam khitanan, pernikahan, pengajian, dan acara keislaman lainnya.
Di Banyuwangi ada seni Kuntulan: perpaduan antara musik dan tari Banyuwangi dan Hadhroh.
Sedangkan tentang seni melagukan bacaan Al-Qur’an dengan suara merdu atau Qiro’ah, merupakan seni budaya Islam yang memiliki  7 versi lagu sebagai kreasi dari orang Hijaz, Mesir, Persia, Turki, dan arab lainnya, meliputi lagu Bayati,  Shoba, Hijaz, Nahawand, Rost, Sikah dan Jiharkah. Seni ini semakin terkenal luas setelah adanya event MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur'an).

c. Tari Zapin dan Tari Sufi Seudati
Tari Zapin diperagakan dengan gerak kaki dan tangan yang indah dan lincah. Tari ini muncul di daerah Riau Sumatera untuk mengiringi irama musik gambus, kasidah dan hadhroh. Penarinya semuanya lelaki.
Tari Sufi Seudati berasal dari tarian para sufi di Aceh. Penarinya semua lelaki. Bunyi musiknya dari tubuh penari sendiri seperti menepuk tangan, dada, dan mengertakkan jari.

d.  Lukis, Pahat, Ukir, Batik, Busana
Sebelum datangnya Islam, ketiga seni tadi sudah berkembang, demi kepentingan agama Hindu Budha dan diwarnai dengan corak gambar binatang, manusia, dewa. Diantara hasilnya berupa: Patung dewa, ukiran / patung binatang, relif di candi, ukiran di gapura, dll. 
Setelah Islam masuk, lalu diubah dengan bercorak/motif tetumbuhan, pepohonan, benda mati, dan ukiran kaligrafi arab (ayat Al-Qur’an- Hadis).
Pakaian asli penduduk di Indonesia biasanya membuka aurat, misalnya di Jawa, wanitanya memakai Kemben. Setelah Islam masuk, seni berbusana menjadi terpengaruh, yakni sopan dan menutup aurat. Maka, muncul mode pakaian seperti  Baju Takwa, Baju Teluk BelangaKerudung,Jilbab, Songkok atau Kopiahblangkon, baju surjan, serban  dan lain-lain.
Dari kalangan Walisongo, Sunan Kalijaga cukup kreatif  dalam menciptakan beberapa cabang kebudayaan, terutama bidang kesenian yang sangat kaya dengan nuansa keislaman. Dia sangat kreatif merubah corak dan bentuk seni yang sudah lama berkembang di masyarakat setelah terlebih dahulu dimuati nilai-nilai keislaman. Misalnya seni ukir, yang pada jaman pra Islam motifnya penuh dengan ukiran makhluk bernyawa (manusia dan binatang), kemudian diubah dengan ukiran bermotif bunga, dedaunan dan lainnya yang tidak bernyawa. Dalam soal pakaian, ia menciptakan bentuk atau mode baju yang lebih dikenal dengan baju TakwaSeni batik yang pada jaman pra Islam diwarnai dengan motif illustrasi gambar burung, yang dalam bahasa kawinya disebut kukila, lalu diberi makna sesuai dengan yang dikehendaki Islam. "Ku" berasal dari bahasa arab Qu yang berarti jagalah, dan "kila" dari bahasa arab Qila, berarti yang diucapkan. Dengan demikian, gambar burung "kukila" mengandung pesan, bahwa seseorang hendaklah mampu menjaga lisannya

e.  Sastra Bercorak Tasawwuf
Di Luar Jawa
Antara abad 15-17, di Sumatra berkembang karya sastra dan ilmiah bercorak tasawwuf dari ulama besar masa kesultanan Aceh Darussalam yang sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan corak pemikiran keislaman (tasawwuf) di Indonesia.
1). Karya Hamzah Fansuri : Asrorul ‘Arifin fi Bayani as-Suluk wat Tauhid, dan Syair Perahu. Keduanya berisi ajaran ilmu kalam (teologi) dan tasawwuf menurut faham  Wahdatul Wujud. Karya lainnya: Syair Dagang, Syair Jawi, Syarabul ‘Asyikin.
2). Karya Syamsuddin as-Sumatrani: Mir’atul Mu’minin, berisi tanya jawab soal ilmu kalam.
3). Karya Nuruddin ar-Raniri (ulama’ Ahlis-Sunnah abad 17) : As-Shirotul Mustaqim (fiqih),Bustanus-Salatin (politik, tuntunan bagi Raja), Tibyan fi Ma’rifatil Adyan (bantahan terhadap fahamWahdatul Wujud-nya Hamzah Fansuri Cs).
4). Abdurrauf Singkel : pengembang tarekat Syattariyah, ia menghidupkan kembali faham Hamzah Fansuri, terutama teori Martabat Tujuh. Pengaruhnya sampai ke Jawa melalui muridnya, yakni  syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya Jawa Barat. 
Karya dan ajaran keempat ulama tersebut mempengaruhi faham tasawwuf di Jawa, yakni faham ahlussunnah ala  Walisongo, dan faham manunggaling kawulo-gusti ala Sekh Siti Jenar.
Di Sulawesi, muncul Syekh Yusuf Makassar (abad 17) dengan 20 buah judul karya tulis bercorak tasawwuf faham Ahlussunnah.
Di Kalimantan, muncul syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (abad 19), penulis kitab fiqih :Sabilul Muhtadin.
Di Jawa : Suluk, Wirid, Primbon
Dalam bidang sastra, di Jawa pada abad 16-18, muncul tiga kitab karya sastra yang berisi ajaran Islam bercorak tasawuf, yakni  Kitab Suluk, Wirid dan Primbon, yang diduga terkait dengan karya ulama Sumatera.  
Kitab Suluk, yaitu karya tulis  berbentuk puisi, berbahasa jawa-tengahan, berisi ajaran tasawuf, sebagiannya terpengaruh oleh Syair-syair karya Hamzah Fansuri. Misalnya kitab Suluk Wujil, sulukMalang Sumirang, suluk Syekh Malaya, suluk Sukarso, dll.
Kitab Wirid, yaitu karya tulis dalam bentuk ulasan bebas (prosa), berisi ajaran tasawwuf dan akhlak. Misalnya Het Book van Bonang (kitab Sunan Bonang), Serat Wirid Hidayat Jati (karya Ronggowarsito) .

Sedangkan Kitab Primbon yaitu karya tulis berbentuk ulasan bebas (prosa), berisi kumpulan dari berbagai aspek ajaran Islam (tauhid, syariat, akhlak-tasawwuf, pengobatan, ramalan dan lain-lain. Misalnya buku Primbon Abad ke-16 (Een Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw)  yang diduga peninggalan Sunan Bonang.
Pada perkembangan selanjutnya, di abad 19, muncul Syekh Muhammad Nawawi al-Banteni yang menjadi ulama besar di jazirah Arab saat itu. Karyanya berjumlah 26 buah judul, yang terkenal berjudul Tafsir Al-Munir, ‘Uqudul Lujain, dll.


 
f. Arsitektur : Bangunan Masjid
Bangunan Masjid-masjid khas Indonesia, terutama yang dirancang para Walisongo, merupakan bentuk akulturasi (pembauran) dengan bangunan candi, pura, stupa. Memiliki ciri-ciri dan corak khusus, antara lain :
1). Atap Masjid
Atapnya bersusun (tumpang) dan berbentuk ,eruncing ke atas. Ada yang bersusun tiga sebagai simbol tingkatan dalam beragama: Iman, Islam, Ihsan, atau syari'at, thariqot, dan haqiqat. Di atasnya ada mustoko, sebagai simbol Ma’rifat.  Seperti di Masjid Agung Demak, masjid Agung Kraton (Jogjakarta, Surakarta, dll), dan masjid-
masjid kuno di Jawa. Ada yang beratap seperti tumpeng, seperti masjid-masjid di daerah Banten.
Masjid beratap Kubah (asal bangunan Arab) tidak ditemukan pada masjid kuno khas Indonesia, tetapi perkembangan modern. Seperti masjid Baiturrahman di kota Banda Aceh, masjidSyuhada’ Jogjakarta, Istiqlal di Jakarta. dll. Tetapi puncaknya tetap berbentuk runcing mengarah ke atas.
Atap atau kubah yang meruncing ke atas terkandung makna mengarah ke satu tujuan. Sebagai simbol bahwa segala bentuk usaha dan ibadah agar diarahkan kepada yang “Tunggal” yang di atas, yakni Alloh I.
2). Mihrob
 Di bagian barat ada bangunan menonjol ke luar mengarah ke kiblat berfungsi sebagai mihrob(pengimaman). Terkandung makna persatuan umat Islam, yakni meskipun berbeda dari  berbagai penjuru, hendaknya tetap berkiblat/berpedoman pada satu akidah Tauhid (dilambangkan Baitulloh). 
3). Menara Masjid
Menara berfungsi sebagai tempat mu’adzzin menyuarakan adzan dan iqomat, juga tempat memukul kenthongan dan bedug, pada awalnya tak ditemui di masjid-masjid Jawa, kecuali masjid di Kudus dan di Banten.
Bedug dan Kenthongan
Peninggalan Kesultanan Demak


 
Bentuk bangunan Menara Kudus mirip Candi di Jawa Timur dan Pura di Bali.
4). Bedug dan Kentongan.
Selain Adzan-Iqomat, Bedug dan Kenthongan dimaksudkan sebagai alat memanggil sholat, terutama bagi yang rumahnya jauh dari masjid. Mengingat saat itu belum ada pengeras suara, speaker.
Menurut kisah, untuk memanggil orang sholat, Sunan Kalijaga memerintah-kan Sunan Pandanarang agar membuatbedug dan kentonganKentongan jika ditabuh berbunyi tong tong tong, sebagai lambang "Masjid masih kosong" (bahasa jawanyakothong) dan Bedug berbunyi deng deng deng, sebagai  simbol "Masjid masih muat" (bahasa jawanya sedheng).
 5). Lokasi Masjid
Letaknya di ibukota kerajaan atau kadipaten,. Biasanya didirikan sedekat mungkin dengan istana (kantor pemerintahan), menghadap alun-alun Kraton. Makna simbolik (filosofi)-nya : Alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat dan Rajanya, sedangkan Masjid adalah tempat bersatunyarakyat dan Rajanya dengan Tuhannya. Yakni rakyat (makmum) bersama-sama dengan Raja (imam) menghadap kepada Alloh.
6). Makam
Bangunan makam biasanya terletak di sebelah barat masjid dan sekitarnya. Fungsinya sebagaiDzikrul maut (mengingatkan bahwa setiap orang hidup pasti akan mati, dan setelah hidup di dunia ini ada kehidupan lagi di akhirat yang lebih langgeng). Untuk itu, perlu  memperbanyak ibadah dan amal sholih, sebagai “Sangu” di alam akhirat.


C. APRESIASI TERHADAP  UPACARA TRADISI LOKAL

1.  Mensuriteladani Dakwah Walisongo
Sebelum Islam datang, berbagai tradisi, upacara dan adat istiadat sebagai pengaruh dari ajaran hindu, buda dan aliran kepercayaan berkembang subur secara turun temurun dan sulit dihilangkan.  Mulai dari urusan kelahiran, aktifitas sehari-hari (usaha, panen, khitanan, perkawinan, pembangunan, dll) sampai urusan kematian, selalu ada upacara dan kenduren-nya, lengkap dengan ubo rampe (sesajen) dan pembacaan mantera-mantera.
Tradisi dan upacara tersebut, jika dipandang dari segi agama Islam, tentu ada yang sesuai dan ada yang bertentangan dengan aqidah Islam. Melihat kenyataan seperti ini, para muballigh Walisongo, terutama kelompok Sunan Kalijaga, sungguh sangat cerdas dan bijaksana. Mereka berdakwah dengan pendekatan budaya. Mereka tidak antipati terhadap tradisi dan adat istiadat lama yang nampak bertentangan dengan aqidah islam dan sudah mendarah daging itu. Jika diberantas, masyarakat akan membenci dan semakin menjauh. 
Tradisi, adat istiadat dan upacara yang nampak bertentangan itu tidak diberantas seketika, tetapi tetap dilestarikan, sambil diubah sedikit-demi sedikit dengan disisipi nilai-nilai keislaman. Misalnya upacara adat atau kenduren istilahnya diganti dengan “Selamatan”; pembacaan mantera diganti dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, kalimat thayyibah (tahlilan) dan doa-doa Islam; sesajen untuk roh halus atau roh nenek moyang diganti dengan makanan atau berkat yang disajikan/disuguhkan sebagai shodaqoh kepada orang hidup yang mengikuti upacara tersebut. Adapun sesajen penting yang berupa aneka ragam  jajan pasar diganti dengan tiga jenis makanan : ketan, kolak dan apem, dengan diberi makna baru. Ketiga nama makanan tersebut diambil dari bahasa arab yang diucapkan secara keliru oleh masyarakat jawa. Kataketan dari bahasa arab Khatha-an yang berarti kesalahan atau dosa. Kata Kolak dari bahasa arab qaala yang berarti berkata atau berdoa; dan kataApem  dari kata Afwun yang berarti ampunan. Dari ketiga nama makanan tersebut terkandung suatu ajaran, bahwa manusia tidak dapat lepas dari dosa dan salah. Oleh karena itu, hendaklah ia berdoa kepada Allah untuk memohon ampunan-Nya
Dengan metode dakwah seperti itu, maka masyarakat dan budayanya secara tidak sadar dapat diislamkan. Itulah rahasianya, kenapa mayoritas penduduk Jawa, terutama yang tinggal di daerah basis hindu-budha, berduyun-duyun masuk Islam dalam jangka waktu yang sangat singkat.
Atas dasar pengalaman dakwah Walisongo di atas, kita seharusnya mencontoh mereka dalam mensikapi berbagai upacara tradisi dan adat istiadat lokal di daerah kita. Kita tidak boleh langsung bersikap antipati dan berkepala batu, lalu menuduhnya bid’ah, syirik, kafir, haram,masuk neraka, sesat dan sejenisnya, tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan dampaknya atau untung-ruginya bagi kesuksesan dakwah Islamiyah jangka panjang. Akan tetapi, kita harus bersikap cerdas dan bijaksana, antara lain dengan pedoman berikut:
a. Jika upacara, tradisi, atau adat istiadat lokal yang nampak tidak bertentangan dengan unsur aqidah Islam, hendaknya disikapi dengan penuh penghormatan, dan kalau perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai aset budaya bangsa. Bahkan dapat dijadikan sarana berdakwah.
b. Jika hal itu nampak bertentangan dengan unsur aqidah Islam, baik secara terang-terangan maupun sembunyi, hendaknya tidak disikapi secara reaktif, antipati, bertindak destruktif (merusak) dan main hakim sendiri. Akan tetapi tetap bersikap toleran dan simpatik, sambil dicarikan jalan keluarnya agar tidak bertentangan dengan Aqidah Islam, dengan menggunakan metode, pendekatan dan cara halus seperti yang dilakukan oleh Walisongo. Misalnya dipandang sebagai bagian dari kreasi budaya bangsa dan bukan merupakan bagian dari ajaran Islam, lalu disisipi nilai-nilai keislaman, diubah sedikit demi sedikit, ditafsiri dan dimaknai secara baru, dicarikan dalil-dalil naqli dan aqli, sehingga tradisi tersebut menjadi sebuah tradisi lokal yang bernafaskan Islam

2.  Beberapa Contoh Tradisi Lokal Yang Bernafaskan Islam

1. Selamatan / Kenduren setiap ada hajat seperti ingin pindah rumah, pembangunan, panenan (sedekah bumi), naik pangkat,  pelantikan, wisuda, serah-terima jabatan, sembuh dari sakit, mengadakan pertunjukan, dan lain-lain. Acaranya antara lain : pembacaan istighotsah, tahlilan, yasinan, dzibaan, khataman Al-Qur’an, dan doa-dzikir lainnya.  
2. Berkaitan dengan kehamilan : upacara hamil 3 bulan; hamil 4 bulan; hamil 7 bulan (mitoni/tingkepan);  hamil 9 bulan (mrocoti). Acaranya antara lain pembacaan surat Yusuf dan Maryam, khataman, tahlilan, pengajian, dan doa-dzikir lainnya.   
3. Berkaitan dengan kelahiran : menanam ari-ari, mengadzani telinga kanan dan meng-iqomati telinga kiri, Brokahan (selamatan kelahiran bayi), sepasaran, selapanan, puputan (copot puser), jagong bayen, pemberian nama, aqiqoh, khitanan, mandap siti (turun tanah).
4. Berkaitan dengan pernikahan: lamaran, peningsetan, midodareni (mandi calon penganten), akad nikah, resepsi, sepasaran (ngunduh mantu).  
5. Berkaitan dengan kematian : tahlilan 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, haul, ziarah kubur, kirim pahala/doa, nyadran bulan ruwah, dll.
6. Berkaitan dengan PHBI : Maulid Nabi, Isro’-Mi’roj, Nuzulul Qur’an, Unjung-unjung (shilaturrahmi hari raya), syawalan, Qurban, Muharrom (syuro), Nisfu Sya’ban, Sekaten, Grebeg (mengarak nasi tumpeng gunungan  dalam rangka maulud Nabi, besar, poso, syawal).
7. Berkaitan dengan Majlis dzikir yang ditradisikan misalnya sholawatan (dzibaan, berjanjen, nariyah), yasinan, istighotsahan, manaqiban, majlis semaan Al-Qur’an, dan sejenisnya.
Dan masih banyak tradisi-tradisi lain seperti peringatan ulang tahun, upacara bendera, rebo kasan, dan sejenisnya.

UJI  KOMPETENSI

1. QS Al-Isro’ : 70 menegaskan bahwa Alloh menjadikan manusia sebagai makhluk terunggul. Kenapa demikian! Jelakan alasannya!
2. Jelaskan terjadinya Akulturasi antara budaya lokal dan budaya Islam di Indonesia!
3. Tulislah sebuah hadis Nabi yang mendorong kaum muslimin untuk mengembangkan seni budayanya!
4. Dari mana asal usul wayang! Dan berfungsi sebagai apa!
5. Apa jasa dan sumbangan Sunan Kalijaga dan Walisongo dalam mengembang-kan seni Wayang!
6. Sebutkan 3 cerita / lakon carangan hasil  gubahan Walisongo!
7. Sebutkan 3 jenis tembang mocopat beserta penciptanya!
8. Sebutkan 3 tembang dolanan bocah karya Sunan Giri!
9. Apa yang Anda ketahui tentang kesenian Hadhroh dan al-Banjari!
10. Apa jasa Sunan Kalijaga dalam seni ukir dan busana?
11. Sebutkan 4 ulama besar dari Aceh Darussalam yang berjasa dalam pengembangan sastranya!
12. Ke-4 ulama tersebut perpengaruh terhadap munculnya dua faham tasawwuf di Jawa. Sebutkan !
13. Sebutkan 3 jenis kitab karya sastra di Jawa, dan jelaskan perbedaannya!
14. Sebutkan 6 ciri bangunan Masjid di Jawa sebagai hasil akulturasi budaya!
15. Jelaskan makna simbolik dari atap Masjid bersusun tiga dan mustoko!
16. Jelaskan asal usul Kentongan dan Bedug, disertai makna simboliknya!
17. Bangsa Indonesia, terutama Jawa, sangat antusias melestarikan tradisi lokal. Bagaimana sikap Walisongo terhadapnya! Jelaskan!
18. Beri contoh jasa Walisongo (Sunan Kalijaga) dalam mengislamkan upacara-tradisi lokal!
19. Upacara - tradisi lokal terkadang bertentangan dengan aqidah Islam. Apa yang harus Anda lakukan menghadapi kenyataan itu! Jelaskan!
20. Sebutkan masing-masing 3 contoh tradisi lokal bernafaskan Islam yang berkaitan dengan :
a. kehamilan ?          d. pernikahan ?       
b. kelahiran ?              e. PHBI  ?
c. kematian ?               f. majlis dzikir ?