Minggu, 03 Mei 2015

Pengertian Kritisisme


Pengertian Kritisisme
Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Filsafat kritisisme adalah faham yang mengkritik terhadap faham Rasionalisme dan faham Empirisme. Yang mana kedua faham tersebut berlawanan, Adapun pengertian secara perinci adalah sebagai berikut:
  • Faham Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan dan analisis yang berdasarkan fakta. Paham ini menjadi salah satu bagian dari renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap gereja yang menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak bisa diterima oleh logika. Filsafat Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza – biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).
  • Faham Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui pembuktian-pembukitan indrawi. Kebenaran belum dapat dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara indrawi, yaitu dilihat, didengar dan dirasa. Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah John Locke (1632-1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan HAM.
Pelopor kritisisme adalah Immanuel Kant. Immanuel Kant (1724 – 1804) mengkritisi Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu, Kant menawarkan sebuah konsep “Filsafat Kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Kata kritik secara harfiah berarti “pemisahan”.
Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksudkan sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan.
 Dengan filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan dari sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari segala pengalaman, sedang empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal.
Dengan kritisisme, Imanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik di mana hal itu merupakan materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan.
Sejarah Timbulnya Kritisisme
Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan emperisme. Zaman baru ini disebut zaman pencerahan (aufklarung) zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, seorang filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap pernah pengetahuan akal.
Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan. Disisi lain, jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam.
Pada rasionalimse dan emperisme ternyata amat jelas pertentangan antara budi dan pengalaman, manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan, makanah pengetahuan yang benar? Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant mencoba mengadakan penyelesaian pertalian ini. Pada umumnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh emperisme (hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa emperisme membawa karagu-raguan terhadap budi manusia akan dapat mencapai kebenaran. Maka Kant akan menyelidiki (mengadakan kritik) pengetahuan budi serta akan diterangkan, apa sebabnya pengetahuan budi ini mungkin. Itulah sebabnya aliran ini disebut kriticisme.
Akhirnya, Kant mengakui peranan budi dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada budi (nasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (emperisme) budi metode berpikirnya disebut metode kritik.
Pemikiran Kritisisme Tentang Ilmu Pengetahuan
Kant membedakan pengetahuan ke dalam empat bagian, sebagai berikut:
1. Yang analitis a priori
2. Yang sintetis a priori
3. Yang analitis a posteriori
4. Yang sintetis a posteriori
Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman. Sedangkan pengetahuan a posteriori terjadi sebagai akibat pengalaman. Pengetahuan yang analitis merupakan hasil analisa dan pengetahuan sintetis merupakan hasil keadaan yang mempersatukan dua hal yang biasanya terpisah Pengetahuan yang analitis a priori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang a priori. Pengetahuan sintetis a priori dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. Misal, 7 – 2 = 5 merupakan contoh pengetahuan semacam itu. Pengetahuan sintetis a posteriori diperoleh setelah adanya pengalaman.
Dengan filsafatnya, ia bermaksud memugar sifat obyektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar maksud tersebut terlaksana orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak. Menurut Kant ilmu pengetahuan adalah bersyarat pada: a) bersiafat umum dan bersifat perlu mutlak dan b) memberi pengetahuan yang baru. Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan realita.
Kant yang mengajarkan tentang daya pengenalan mengemukakan bahwa daya pengenalan roh adalah bertingkat, dari tingkatan terendah pengamatan inderawi, menuju ke tingkat menengah akal (Verstand) dan yang tertinggi rasio atau buddhi (Vernunft).
Immanuel Kant menganggap Empirisme (pengalaman) itu bersifat relative bila tanpa ada landasan teorinya. contohnya adalah kamu selama ini tahu air yang dimasak sampai mendidih pasti akan panas, itu kita dapat dari pengalaman kita di rumah kita di Indonesia ini, namun lain cerita bila kita memasak air sampai mendidih di daerah kutub yang suhunya di bawah 0̊ C, maka air itu tidak akan panas karena terkena suhu dingin daerah kutub, karena pada teorinya suhu air malah akan menjadi dingin. dan contoh lainnya adalah pada gravitasi, gravitasi hanya dapat di buktikan di bumi saja, tetapi tidak dapat diterapkan di bulan. Jadi sudah terbukti bahwa pengalaman itu bersifat relatif, tidak bisa kita simpulkan atau kita iyakan begitu saja tanpa dibuktikan dengan sebuah akal dan teori. Dan oleh karena itu Ilmu pengetahuan atau Science haruslah bersifat berkembang, tidak absolute atau mutlak dan tidak bertahan lama karena akan melalui perubahan yang mengikuti perkembangan zaman yang terus maju.

1. Metodologi berpikir Dalam Mendapatkan Ilmu
Metodelogi Immanuel Kant tersebut dikenal dengan metode Induksi, dari particular data-data terkecil baru mencapai kesimpulan Universal. Menurut Immanuel Kant, Manusia sudah mendapatkan ke 12 kategori tersebut sejak terlahir di dunia ini, Teori itu terinspirasi dari Dunia Ide Plato.
Immanuel Kant juga beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan Fenomena saja. Fenomena itu sendiri adalah sesuatu yang tampak yang hanya menunjukkan fisiknya saja. Seperti benda pada dirinya, bukan isinya atau idenya. Seperti ada ungkapan “The Think in itself” Sama halnya dengan Manusia hanya bisa melihat Manusia lain secara penampakannya saja atau fisiknya saja, tetapi tidak bisa melihat ide manusia tersebut. Inderawi hanya bisa melihat Fenomena (fisik) tapi tidak bisa melihat Nomena (Dunia ide abstrak–> Plato). Cara berpikir yang demikian itu, yaitu pemikiran dengan memakai tese, antitese dan sintese.
Immanuel Kant menggabungkan dunia Ide Plato “a priori” yang artinya sebelum dibuktikan tapi kita sudah percaya, seperti konsep ketuhanan dengan pengalaman itu sendiri yang bersifat “a posteriori” yaitu setelah dibuktikan baru percaya, kata lainnya adalah kesimpulan dari kesan-kesan baru kemudian membentuk sebuah ide.




Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan “Pencerahan”, yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pasa masa itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasikan pandangan duniannya, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme, yaitu suatu paham yang kemudian melahirkan apa yang disebut Natural Religion (Agama alam) atau agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Maksud paham ini adalah menaklukkan wahyu ilahi beserta degan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, mukjizat, dan lain-lain kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang alamiah, bebas dari pada segala ajaran Gereja. Singkatnya, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran adalah akal.
Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang – dianggap – benar-benar berbeda sama sekali dengan metafisikan pra kant.
Pengaruh Leibniz dan Hume
Leibniz-Wolf dan Hume merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang kuat melanda Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagai tokoh penting dari aliran empirisisme.
Di sini jelas, bahwa epistemologi ‘ala Leibniz bertentangan dengan epistemologi Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasionya saja, dan bukan pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa diturunkan kebenaran yang umum dan mutlak. Sedangkan Hume megnajarkan bahwa pengalamanlah sumber pengetahuan itu. Pengetahuan rasional mengenai sesuatu terjadi setelah itu dialami terlebih dahulu.
Epistemologi Kant, Membangun dari Bawah
Filsafat Kant berusaha mengatasi dua aliran tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif.
Mendapatkan inspirasi dari “Copernican Revolution”, Kant mengubah wajah filsafat secara radikal, dimana ia memberikan filsafatnya, Kant tidak mulai dengan penyeledikan atas benda-benda yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap. Kant mengatakan:
Akal tidak boleh bertindak seperti seroang mahasiswa yang Cuma puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennnya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya.
Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya pertimbangan.
1. Kritik atas Rasio Murni
Dalam kritik ini, atara lain kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
a. Putusan analitis apriori; dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (msialnya, setiap benda menempati ruang).
b. Putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (=post, bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
c. Putusan sintesis apriori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak, namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusu atas putusan sintetis yang bersifat apriori ini.
Tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:
a. Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
Unsur apriori, pada taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu. Dengan unsur apriori ini membuat benda-benda objek pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu’. Pengertian kant mengenai ruang dan waktu ini berbeda dengan ruang dan waktu dalam pandangan Newton. Kalau Newton menempatkan ruang dan waktu ‘di luar’ manusia, kant megnatakan bahwa keduanya adalah apriori sensibilitas. Maksud Kant, keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek. Ruang bukanlah ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukan merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (Raum an sich). Dan waktu bukanlah arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan berlangsung, tetapi ia merupakan kndisi formal dari fenomena apapun, dan bersifat apriori.
Yang bisa diamati dan diselidiki hanyalah fenomena-fenomena atau penampakan-penampakannya saja, yang tak lain merupakan sintesis antara unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu di dalam struktur pemikiran manusia.
b. Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja dengan bantuan fantasinya (Einbildungskarft). Pengetahuan akal budi baru dieroleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.
c. Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal budi(Verstand) dan tingkat pencerapan indrawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea argumentatif.
Kendati Kant menerima ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan, dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya sendiri” (das Ding an Sich). Ketiganya merupakan postulat atau aksioma-aksioma epistemologis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoretis-empiris.
2. Kritik atas Rasio Praktis
Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorangan (individu), sedangkanimperative (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hypothetical)atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (=solen). Menurut kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber paa kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung).Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
Kant, ada akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung adanya praanggapan dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan.
Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan “argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.
3. Kritik atas Daya Pertimbangan
Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
Idealisme Transedental : Sebuah Konsekuensi
Tidak mudah memahami kant, terutama ketika sampai pada teorinya: realisme empirikal (Empirical realism)dan Idealisme transendental (transendental idealism), apalagi jika mencoba mempertemukan bagian-bagian dari teorinya itu. Istilah “transenden” berhadapan dengan istilah ‘empiris’, dimana keduanya sama-sama merupakan term epistemologis, namun sudah tentu mengandung maksud yang berbeda; yang pertama berartiindependent dari pengalaman (dalam arti transenden), sedang yang terakhir disebut berarti imanen dalam pengalaman. Begitu saja “realisme” yang berlawanan dengan “idealisme”, adalah dua istilah ontologis yang masing-masing bermakna: “lepas dari eksistensi subyek” (independet of my existance) dan “bergantung pada eksistensi subyek” (dependent of my existence). Teori Kant ini mengingatkan kita kepada filsuf Berkeley dan Descartes. Berkeley sduah tentu seorang empirisis, tetapi ia sekaligus muncul sebagai seroang idealis. Sementara Descartes bisa disebut seorang realis karena ia percaya bahwa eksistensi obyek itu, secara umum, independen dari kita, tetapi ia juga memahami bahwa kita hanya mengetahui esensinya melalui idea bawaaninnate ideas) secara “clear and distinct”, bukan melalui pengalaman. Inilah yang kemudian membuat Descartes sebagai seorang “realis transendental”. 
BAB III
KESIMPULAN

Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya telah memadukan dua pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substansial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan melulu tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirialisme harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigm baru bahwa kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran rasional harus empiris.
DAFTAR PUSTAKA

Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu. Jogjakarta: Belukar, 2004.
S.Praja.Juhaya,Aliran-aliran filsafat dan etika.Cet II;Jakarta:Prenada Media 2005.
Akhmadi,Asmoro,Filsafat Umum. Cet V; Jakarta: RajaGrafindo Persada.2003.




tugas makalah konsep pikir aliran positivisme
Aliran Filsafat Positivisme
A. PENDAHULUAN
Pada kesempatan ini pembahasannya berawal dari pertanyaan seperti Kebenaran itu apakah kecil atau kebenaran besar ? . Yang sering juga disebut pemikiran filsafat positivisme.[1]
Dan untuk suatu ilmu itu dalam menemukan kebenaran, tentulah menyandarkan dirinya kepada kriteria atau teori-teori kebenaran dan yang salah satunya adalah positivistik atau postivisme.[2]
Pada saat dunia barat telah biasa membagi tahapan sejarah pemikiran menjadi tiga periode, yaitu;[3]
Pertama, Ancient (zaman kuno), menurut mereka pada zaman ini terdapat kemajuan manusia.
Kedua,Medieval (pertengahan), yakni zaman di mana alam pikiran dikungkung atau didominasi oleh Gereja. Selain itu kebebasan pemikiran sangat terbatas, perkembangan sains amat sulit dan perkembangan filsafat tersendat-sendat.
Ketiga Zaman Modern, (sekarang) yakni zaman sesudah abad pertengahan berakhir hingga sekarang
Namun batas yang jelas tentang kapan abad pertengahan berakhir sulit ditentukan.Zaman modern sangat dinanti-nantikan oleh banyak kalangan yang begitu bebas, pemikiran yang tidak dikekang oleh tekanan-tekanan di luar dirinya.Kondisi semacam itulah yang hendak dihidupkan kembali pada zaman modern.Mereka selalu mentaati zaman modern sebagai alternatif sebagai zaman yang tepat untuk menuangkan dengan bebas segala pemikirannya.[4]
Fislafat abad modern pada pokoknya ada 3 aliran:[5]
1) Aliran Rasionalisme (tokohnya Rene Descartes, 1596-1650 M)
2) Aliran Empirisme (tokohnya Francis Bacon, 1210-1292 M)
3) Aliran Kristicisme (tokohnya Immanuel Kant, 1724-1804 M)
B.     PENGERTIAN POSITIVISME
Berawal di Prancis ada aliran yang disebut orang positivisme, yang ditokohi oleh August Comte (1798 – 1857 M)Beliau dianggap juga sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Dan dia dengan singkat memberi gambaran positivisme itu adalah cara pandang dalam memahami dunia berdasarkan sains.[7]Menurut Dia, supaya ada masyarakat baru yang teratur, haruslah terlebih dulu diperbaiki jiwa atau budi. Adapun budi itu menurut Comte mengalami tiga tingkatan, dan tingkatan itu terdapat juga pada kehidupan tiap-tiap manusia, juga pada sejarah ilmu semua.[8]
Tingkat pertama ialah tingkat teologi, yang menerangkan segala-galanya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat: tingkat kedua ialah tingkat metafisika yang hendak menerangkan segala sesuatunya melalui abstraksi: tingkatan yang ketiga ialah tingkatan positif yang hanya menghiraukan yang sungguh-sungguh serta sebab-akibat yang sudah tertentukan.[9]
Masa sekarang ini (masa Comte) haruslah mengabdikan ilmu yang disebutnya positif.Di samping matematika, fisika dan biologia dalam ilmu kemasyarakatanpun semangat positif ini harus dimasukkan. Apa-apa yang tidak positif itu tidak dapat kita alami dan dalam pada itu baiklah orang mengatakan, bahwa ia tidak tahu saja.[10]
Dalam ilmu-ilmu lain seperti ilmu jiwa, sejarah politik dan kesustraan positivisme ini dijadikan dasar juga, lebih-lebih oleh H. Taine (1828-1893 M).Dalam sosiologi yang mendasarkan asasnya atas postivisme ialah Emile Durkheim (1858-1917 M).[11]
Di Inggrispun positivisme ini banyak penganutnya. Yang terutama di antaranya John Stuart Mill (1806-1873 M).Dan ini kebanyakan dipergunakan untuk segala ilmu, baik untuk logika serta ilmu jiwa, maupun kesusilaan.
Dengan demikian bahwa positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
C.     METODE POSITIVISME
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/ persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.[12]
Menurut Agus Comte(1798 - 1857 M), bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Misal panas diukur dengan derajat panas, jauh di ukur dengan ukuran meteran. berat dengan kiloan, dan sebagainya.Jadi, kita tidak cukup hanya dengan mengatakan api itu panas, matahari panas, kopi panas, ketika panasa, juga kita tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, tidak panas. Namun kita memerlukan ukuran yang teliti (secara ilmiah). Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.[13]
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus.[14]
Pada tahap metafisik, kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.[15]
Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan teologis ataupun metafisi dipandang tak berguna, menurutnya, tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam; melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan penggunaan akal.[16]
Positivisme ini sebagai perkembangan yang ekstrem, yakni pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empiric”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut positivism dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri.[17]
Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif, Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.[18]
Jadi, penganut faham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.[19]
Dan bahasa adalah gambar dari kenyataan, karena bahasa sehari-hari tidak bisa menggambarkan kenyataan secara benar maka dikembangkanlah bahasa logis dengan kecermatan matematis yg akurat. Positif berarti, “apa yg berdasarkan pada fakta objektif”.Asumsi dasar positivisme tentang realitas adalah tunggal, dalam artian bahwa fenomena alam dan tingkah laku manusia itu terikat oleh tertib hukum.Fokus kajian-kajian positivis adalah peristiwa sebab-akibat (kausalitas).[20]
Dalam hal itu aliran positivisme ini menyebutkan, hanya ada dua jalan untuk mengetahui : (1) Verifikasi langsung melalui data pengindera (empirikal). (2) Penemuan lewat logika (rasional).[21]
Adapun juga ide-ide pokok positivisme, antara lain :[22]
1.      Bahwa ilmu pengetahuan merupakan jenis pengetahuan yang paling tinggi tingkatannya, dan karenanya kajian filsafat harus juga bersifat ilmiah (that science is the highest form of knowledge and that philosophy thus must be scientific).
2.      Bahwa hanya ada satu jenis metode ilmiah yang berlaku secara umum, untuk segala bidang atau disiplin ilmu, yakni metode penelitian ilmiah yang lazim digunakan dalam ilmu alam.
3.      Bahwa pandangan-pandangan metafisik tidak dapat diterima sebagai ilmu, tetapi "sekadar" merupakan pseudoscientific.
Jadi, kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi.Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.[23]



D.     KONSEP DAN TEORI POSITIVISME
1.      Metode penelitian: kuantitatif
2.      Sifat metode positivisme adalah obyektif.
3.      Penalaran: deduktif.
4.      Hipotetik
Menurut Agus Comte, perkembangan pemikiran manusia baik perorangan maupun bangsa melalui tiga zaman; yaitu zaman teologis, metafisis dan zaman positif.[24]
Pertama; zaman teologis, yakni zaman di mana manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut Zaman teologis ini dibagi lagi atas tiga periode :
1)      Periode pertama, di mana benda-bend dianggap berjiwa (animisme).
2)      Periode kedua ketika manusia percaya pada Dewa-dewa (politeisme).
3)      Periode ketiga ketika manusia percaya pada satu Allah sebagai Yang Maha Kuasa (monoteisme).
Kedua; zaman metafisis, yakni kekuatan yang adikodrati diganti dengan ketentuan-ketentuan abstrak.
Ketiga; zaman positif, yaitu ketika orang tidak lagi berusaha mencapai pengetahuan tentang yang mutlak baig teologis maupun metafisis. Sekarang orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang didapatinya dengan pengamatan dn akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja.
Hukum tiga tahap ini tadi tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juaga berlaku bagi tiap perseorangan. Umpamanya sebagai kanak-kanak adalah seorang teolog, sebagai pemuda menjadi metafisi, dan sebagai orang dewasa ia adalah seorak fisikus.
E.     KELEMAHAN POSITIVISME
Diantara kelemahan positvisme ini, diantaranya adalah :[25]
1.      Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
2.      Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3.      Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
4.      Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
5.      Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6.      Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus – yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah yang final.

F.      POST-POSITIVISME (Penentang Positivisme)
Munculnya gugatan terhadap positivisme  di mulai pada tahun (1970-1980 M). Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry).Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.[26]
Adapun beberapa asumsi dasar pemikiran “post-positivisme” ini, diantaranya :[27]
1.      Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2.      Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
3.      Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4.      Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.
5.      Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6.      Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7.      Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.
G.    TEORI DAN KONSEP POST-POSTIVISME
1.      Metode penelitian: kualitatif
2.      Sifat metode post-positive: Subyektif
3.      Penalaran: Induktif.
4.      Interpretatif
H.     KESIMPULAN
Postivistik atau positivisme diketahui juga adalah cabang dari epistemology yang tentu juga dari cabang filsafat.[28]
Dengan landasan dari epistemology tersebut, bahwa untuk mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral.[29]
Adapun yang merupakan cabang epistemology diantaranya ; (1) Empirisme, (2) Rasionalisme, (3) Positvisme, (4) Intuisionisme.[30]
Dan dalam pengertian abstraknya bahwa filsafat postivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.[31]



PENUTUP
Dengan diketahuinya pemahaman positvistik, tentu juga memahami epistemology kita mempunyai dasar untuk mempertahankan dalam gugatan dari post-postivisme tersebut.
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran.[32]
Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan menggunakan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi sasaran. Dan kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek.Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh persepsi-persepsi belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal dalam filsafat.[33]

[1]Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet. II, h. 118.
[2]Ibid, h. 121.
[3]Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 101-102.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6]Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1990), Cet ke-VIII, h. 120-121.
[7]Mohammad Adib, FIlsafat Ilmu…, h. 122, Op.Cit.
[8]Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Op.Cit.
[9]Ibid.                     
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), h. 154-155.
[13]Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Op.Cit. h. 133-134.
[14]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Op.Cit.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Mohammad Adib, FIlsafat Ilmu… , Op.Cit, h. 122.
[18]Ibid.
[19]Ibid, h. 122-123.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Ibid.
[24]Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Op.Cit, h. 133-134.
[26]Indriyani Purwaningsih , “Perspektif Positivisme & Post-Positivisme”,Op.Cit.
[27]Ibid.
[28]Sutardjo A. Wiramihardja, “Pengantar Filsafat: Sistematika Filsafat”, http://id.shvoong.com/tags/pengantar-filsafat-positivsme (diakses 22-4-12).
[29]Ibid.
[30]Ibid.
[31]Ibid.
[32]Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: ..., h. 117.
[33]Ibid.


DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad.Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2011), Cet. II.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004).

Poedjawijatna. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1990), Cet-VIII.
Syadali, Ahmad. dan Mudzakir. Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997).

Wiramihardja, Sutardjo A.“Pengantar Filsafat: Sistematika Filsafat”, http://id.shvoong.com/tags/pengantar-filsafat-positivsme (diakses 22-4-12).
Al-Makmun. “Kelemahan Positivisme”, http://almakmun.blogspot.com/2008/07/positivisme.html (diakses 22-4-2012).
Posted by kayla azzahratu at 02.27





makalah positivisme

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Banyak orang yang mengenal kata positif dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mengartikan positif sebagai kata yang mengandung arti baik atau berguna. Sesuatu yang baik maka itu sesuatu yang positif, begitu sebaliknya, jika sesuatu yang buruk maka sesuatu itu dianggap negatif, yang merupakan lawan kata dari positif.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang positif yang artinya berbeda dengan arti yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata positif pertama kali digunakan oleh August Comte yang berperan penting dalam mengafirkan filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-inderawi.
Ada perbedaan makna positif antara makna positif dalam kehidupan sehari-hari dan makna positif dalam positivisme August Comte. Bagi orang awam, pasti belum mengetahui arti positivisme, oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang arti positivisme, positivisme August Comte, apa pengaruh positivisme, dan yang lainnya pada bab pembahasan.

B.       Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian positivisme?
b.      Bagaimana riwayat hidup August Comte?
c.       Bagaimana teori positivisme menurut August Comte?
d.      Apa pengaruh positivisme August Comte?
e.       Bagaimana kritik atas positivisme?

C.      Tujuan Makalah
Dalam pembahasan makalah ini mempunyai tujuan untuk mengetahui positivisme menurut pemikiran August Comte dengan tiga teori tahapan perkembangan pemikiran manusia.




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Positivisme
Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan ’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya, kamus saku Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata positive.[1][1]
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte di abad kesembilan belas. Adapun yang menjadi  tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.[2][2]




B.       August Comte
Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris.[3][3] Masa pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-16. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam.
Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte di usir dan hidup dari mengajarkan matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua. Selama kebersamaannya dengan Saint-Simon, dia membaca dan dipengaruhi oleh, sebagaimana yang diakuinya, Plato, Montesquieu, Hume, Turgot, Condorcet, Kant, Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya mereka kemudian di kompilasi oleh menjadi dua karya besarnya, the Cours de Philosophie Positive dan Systeme de Politique Positive. Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan.
Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.
Secara intelektual, kehidupan Comte dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan bersahabat dengan Saint-Simon. Pada tahap ini pemikirannya tentang sistem politik baru dimana fungsi pendeta abad pertengahan diganti ilmuwan dan fungsi tentara dialihkan kepada industri. Tahap kedua ialah ketika dia telah menjalani proses pemulihan mental yang disebabkan kehidupan pribadinya yang tidak stabil. Pada tahap inilah, Comte melahirkan karya besarnya tentang filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-42.[4]
[4]
Auguste Comte meninggal pada tahun 1857 dengan meninggalkan karya-karya seperti Cours de Philosophie Possitive, The Sistem of Possitive Polity, The Scientific Labors Necessary for Recognition of Society, dan Subjective Synthesis.

C.      Positivisme August Comte
Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah  yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan masyarakat, yaitu:
a.       Pada zaman atau tahap teologis, orang mengarahkan rohnya kepada hakekat “batiniah” segala sesuatu kepada “sebab pertama” dan “tujuan terakhir” segala sesuatu. Jadi orang masih percaya kepada kemungkinan adanya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak. Oleh karena itu orang berusaha memilikinya. Orang yakin bahwa dibelakang tiap kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak yang secara khusus. Ada taraf pemikiran ini terdapat lagi 3 tahap, yaitu:
1.      Tahap yang paling bersahaja atau primitive, ketika orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme).
2.      Tahap ketika orang menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatarbelakangi sedemikian rupa sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewa nya sendiri (politeisme).
3.       Tahap yang tertinggi, ketika orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi, yaitu dalam monoteisme.
b.      Zaman yang kedua, yaitu zaman metafisika, sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologis. Sebab kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian, atau dengan pengada-pengada yang lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut alam dan yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
c.       Zaman positif adalah zaman ketika orang tau bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun pengenalan metafisis. Ia tidak lagi mau melacak asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini atau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada dibelakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau yang disajikan kepadanya, yaitu dengan pengamatan dan memakai akalnya. Pada zaman ini akan tercapai “menerangkan”  berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta yang umum. Tujuan tertinggi pada zaman ini akan tercapai bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur dibawah satu fakta yang umum saja.
Seperti yang telah dipaparkan diatas, hukum dalam 3 zaman atau 3 tahap ini bukan hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap orang sendiri-sendiri. Misalnya, sebagai kanak-kanak oranng adalah seorang teolog, sebagai pemuda ia menjadi seorang metafisikus dan sebagai orang dewasa ia adalah seorang fisikus.[5][5]
Pada akhir hidupnya, setiap individu berupaya untuk membangun agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat positifnya. Agama baru tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”.[6][6]
Sebagai istilah ciptaannya yang terkenal altruism yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.[7][7]

D.      Pengaruh Positivisme
Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.[8][8]
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum.[9][9]

E.       Kritik atas Positivisme
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.[10][10]
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.[11][11]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa August Comte merupakan seorang yang menggunakan positivisme pertama kali sebagai sebuah filsafat pada abad ke Sembilan belas. Menurutnya, positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal, yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya.
Menurut August Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah atau positif. Dalam  hukum 3 zaman atau 3 tahap ini bukan hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap orang sendiri-sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Dr. Harun Hadiwijono.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius:Yogyakarta
Muzairi, M. Ag.2009.Filsafat Umum.Teres:Yogyakarta
Asmoro Achmadi.2010. Filsafat Umum. Rajagrafindo Persada: Jakarta






[12][2] Asmoro Achmadi.2010. Filsafat Umum. Rajagrafindo Persada: Jakarta. Hal. 119

[13][3] http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte di akses pada 29 Februari 2012

[15][5] Dr. Harun Hadiwijono.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius:Yogyakarta. Hal.
[16][6] Asmoro Achmadi.2010. Filsafat Umum. Rajagrafindo Persada: Jakarta. Hal. 121
[17][7] Pringgodigdo, (Ed.), cit., hlm. 42
[18][8] Robert Brown, op.cit., h. 141.


[19][9] Ibid. hlm 141-3
[20][10] Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, v. I, h. 566 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
[21][11] http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism



Diposkan oleh dian anggini di 08.30



[1][1] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, hlm. 333.


[2][2] Asmoro Achmadi.2010. Filsafat Umum. Rajagrafindo Persada: Jakarta. Hal. 119

[3][3] http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte di akses pada 29 Februari 2012
[5][5] Dr. Harun Hadiwijono.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius:Yogyakarta. Hal.
[6][6] Asmoro Achmadi.2010. Filsafat Umum. Rajagrafindo Persada: Jakarta. Hal. 121
[7][7] Pringgodigdo, (Ed.), cit., hlm. 42
[8][8] Robert Brown, op.cit., h. 141.


[9][9] Ibid. hlm 141-3
[10][10] Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, v. I, h. 566 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
[11][11] http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism











Makalah Filsafat Eksistensialisme


A. Pengertian Eksistensialisme

Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu.[1] Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan pengertiannya. Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).[2]

Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.[3]

Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.[4] Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.[5]


B. Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme

Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik.[6] Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji[7]. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:

1. Materialisme

Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.[8]

2. Idealisme

Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.[9]

3. Situasi dan Kondisi Dunia

Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.[10]


C. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan Ajarannya

Tokoh-tokoh eksistensialisme ini cukup banyak, di antaranya: Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulis membatasi pada dua tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu Soren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.

1. Soren Aabye Kierkegaard

Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran.[11]

Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi (The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript) tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948). [12]

Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:

a. Tentang Manusia

Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.[13]

Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.[14]

Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.[15] Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.[16]
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.[17]

b. Pandangan tentang Eksistensi

Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.[18]




Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.[19]

• Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.

• Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).

• Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.

c. Teodise

Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.[20]

Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga salah secara mutlak.[21]

2. Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.[22]

Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.[23]

Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.[24]

Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang Nithingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.[25]

Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:

a. Tentang Manusia

Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.[26]

Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.[27]

2. Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi

Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).

a. L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)

L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan: tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang diam.[28]

b. L'etre-pour-Soi

Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.[29]

3. Mauvaise Foi

Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.[30]

4. Kebebasan

Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.[31]

Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.[32]

  • Beerling, R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta:Balai Pustaka.
  • Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:Rineka Cipta.
  • Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:Kanisius.
  • Hasan, Fuad. 1974. Kita dan Kami, Jakarta:Bulan Bintang.
  • Tafsir, Ahmad. 1992. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
  • Titus, Smith dan Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi Jakarta:Bulan Bintang.
____________
[1] Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang. 1974), hlm. 8.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191.
[3] Ibid.
[4] Hasan, Kita dan Kami, hlm. 7.
[5] Tafsir, Filsafat Umum, hlm192-193.
[6] Ibid, hlm. 190.
[7] R.F. Beerling, Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin (Djakarta:Balai Pustaka.1966), hlm. 11.
[8] Tafsir, Filsafat Umum, hlm192.
[9] Ibid, hlm. 193-194.
[10] Ibid, hlm. 194.
[11] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta:Rineka Cipta. 1990), cet. ke-1, hlm. 47.
[12] ibid, hlm. 48-49.
[13] Ibid, hlm. 49
[14] Ibid.
[15] Tafsir, Filsafat Umum, hlm. 195
[16] Smith Titus dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi (Jakarta:Bulan Bintang. 1984), hlm. 388.
[17] Ibid.
[18] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm. 50-51.
[19] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta:Kanisius. 1980), hlm. 125.
[20] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm.52.
[21] Nolan, Persoalan-persoalan, hlm. 388.
[22] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm.94.
[23] Ibid.
[24] Ibid, hlm. 95
[25] Ibid, hlm. 95-96.
[26] Ibid, hlm. 96.
[27] Ibid.
[28] Ibid, hlm 100-102.
[29] Ibid, hlm. 102.
[30] Ibid, hlm. 106.
[31] Ibid, hlm. 106-108.
[32] Ibid, hlm. 108.


?

1 komentar:

  1. Www.Pendidikan.Com: Pengertian Kritisisme >>>>> Download Now

    >>>>> Download Full

    Www.Pendidikan.Com: Pengertian Kritisisme >>>>> Download LINK

    >>>>> Download Now

    Www.Pendidikan.Com: Pengertian Kritisisme >>>>> Download Full

    >>>>> Download LINK

    BalasHapus